Translate

Blog Archive

Cari Blog Ini

e-Compusoft Online English Training

Senin, 16 Juli 2012

Korupsi Dipandang Dari Perspektif Islam

Oleh Muhammad El Maghfurrodhi
Mahasiswa Pascasarjana UIN Jakarta
Pembaca yang budiman, istilah takwa sering kita artikan dengan upaya untuk melakukan perintah Allah SWT semampu kita, sekaligus pada saat yang bersamaan tidak melakukan larangan-Nya semampu kita pula. Di antara aplikasi ajaran takwa adalah sikap kehati-hatian untuk mendapatkan, mengumpulkan, dan membelanjakan harta. Harta yang kita miliki di dunia tidak kalah berat pertanggungjawabannya dibandingkan dengan nikmat-nikmat Allah yang diberikan kepada kita. Rasulullah, dalam sebuah riwayat hadis, mengabarkan kepada sahabat Ka’ab bin Ujrah tentang pertanggungjawaban manusia kelak di akhirat:


“Wahai Ka’ab bin Ujrah, sesungguhnya tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari sesuatu yang haram, dan neraka lebih pantas baginya” (HR. Ahmad).
Hadis tersebut menyiratkan betapa berharganya status ‘halal’ selalu melekat pada segala sesuatu yang kita miliki. Sabda Nabi SAW tersebut juga mengingatkan kita betapa harus berhati-hatinya kita ‘mengkonsumsi’ dan memanfaatkan segala sumberdaya yang dianugerahkan kepada kita. Jika satu teguk saja minuman haram atau satu suap saja makanan haram tercerna di dalam tubuh kita, ancaman neraka telah didengungkan oleh Rasulullah. Jika satu lembar kertas saja atau satu batang pensil saja yang kita gunakan adalah didapatkan dari cara yang haram, maka kabar dari Nabi SAW tersebut sudah siap menghantui kita.
Sangat disayangkan, kehati-hatian dalam memperoleh atau memanfaatkan harta dunia seakan sudah tidak dipentingkan lagi oleh umat manusia. Dalam kehidupan sehari-hari, sering kita jumpai berbagai golongan manusia yang tidak menghiraukan cara-cara yang baik dalam mendapatkan harta. Dari level preman yang memalak para pelajar atau para penumpang angkutan umum, para pencuri yang tertangkap kamera pengintai, para pegawai negeri yang menggunakan waktu jam kerja untuk keperluan pribadi, hingga para pejabat negara yang melakukan tindak pencurian harta negara atau yang lazim kita kenal dengan korupsi.
Setiap hari berbagai media informasi tidak pernah sepi dari pemberitaan kasus korupsi. Yang meresahkan adalah para pihak yang dituduh melakukan tindakan korupsi ialah umat Muslim. Secara tidak langsung identitas Muslim atau agama Islam secara umum menjadi terpuruk reputasinya di mata publik. Publik layak untuk mengatakan, “Lihat saja itu para koruptor, kebanyakan adalah orang Islam”. Orang-orang awam menjadi berpandangan, “Apa tidak ada anjuran dalam agama Islam kepada umatnya untuk tidak korupsi?”
Adanya kasus korupsi atau maraknya aksi pencurian harta negara menandakan bahwa rakyat Indonesia, atau umat Muslim sebagai masyarakat mayoritas di Indonesia, sudah semakin teracuni oleh budaya hedonisme dan paham materialisme. Paham materialisme selalu menempatkan materi yang berupa benda-benda duniawi sebagai ukuran kebahagiaan dan kesuksesan manusia. Seberapa hebat seseorang dilihat dari seberapa banyak duit yang ia punya. Tradisi hedonis adalah gaya hidup yang berlebihan dalam memuja kehidupan dunia. Dalam pemahaman orang hedonis, kehidupan dunia adalah segalanya sedangkan kehidupan akhirat adalah sesuatu yang mungkin ada dan mungkin tidak ada. Orang yang memuja gaya hidup ini sangat jauh dari berkeinginan untuk membantu sesama atau mempedulikan kehidupan sosial di sekitarnya. Orang hedonis atau materialis rela melakukan apa saja untuk mendapatkan harta. Tindakan suap-menyuap, gratifikasi, korupsi atau apapun namanya dianggap legal demi memuluskan keinginan dan hasrat mereka.
Korupsi di negeri ini harus dikikis sedikit demi sedikit melalui pembudayaan kepada seluruh rakyat, terutama umat Muslim yang merupakan mayoritas bangsa Indonesia, bahwa agama Islam sangat mengutuk tindakan korupsi. Umat Muslim dalam hal ini mencakup baik rakyat awam maupun pemerintah atau pejabat negara yang diamanahi tugas untuk mengatur negara. Sebagai upaya penyadaran umat Muslim akan hinanya tindak korupsi, umat Muslim hendaknya memperhatikan kembali firman Allah berikut:
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian daripada harta orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah: 188). Teladan mulia yang paling utama bagi umat Muslim, Nabi Muhammad SAW, melarang umat manusia untuk melakukan tindakan suap-menyuap. Beliau bersabda:
“Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap, yang menerima suap, dan orang yang menjadi perantara di antara keduanya” (HR. Tirmidzi). Selain itu, Rasulullah SAW juga menyarankan kepada para penguasa untuk memberikan upah atau gaji yang layak kepada para pegawai. Upah yang layak merupakan syarat mutlak bagi terhindarnya suatu negara dilanda badai korupsi. Beliau bersabda:
“Barang siapa yang diserahi pekerjaan dalam keadaan tidak punya rumah, maka haruslah ia mendapatkan rumah. Bila ia tidak memiliki istri, maka haruslah ia menikah, bila ia tidak memiliki pembantu maka hendaklah ia mengambil pembantu dan bila ia tidak memiliki hewan tunggangan hendaklah ia memiliki hewan tunggangan. Barang siapa yang mengambil selain itu maka ia telah melakukan kecurangan” (HR Abu Dawud). Pada riwayat yang lain, beliau bersabda:
“Hai kaum muslimin, siapa saja diantara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Dan kecurangannya itu akan ia bawa pada hari kiamat nanti” (HR Abu Dawud). Nabi Muhammad SAW selain menawarkan solusi pemberian gaji yang layak untuk mencegah korupsi dan melarang praktik suap-menyuap, beliau melarang pegawai negeri atau orang yang diamanahi tugas kenegaraan untuk menerima gratifikasi. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim, dikisahkan bahwa Rasulullah SAW memberi tugas kepada seorang lelaki dari Bani Al-Asad yang bernama Ibnu Lutbiyah untuk memungut zakat. Setelah kembali dari menjalankan tugasnya, lelaki tersebut berkata kepada Rasulullah SAW: “(Harta) ini untuk anda dan (harta) ini untukku karena dihadiahkan kepadaku.”
Setelah mendengar kata-kata tersebut, Rasulullah SAW naik ke atas mimbar. Setelah mengucapkan puji-pujian ke hadirat Allah, beliau bersabda: “Apakah patut seorang petugas yang aku kirim untuk mengurus suatu tugas mengatakan: “Ini untuk anda dan ini untukku karena memang dihadiahkan kepadaku?” Bukankah lebih baik dia duduk di rumah bapak atau ibunya (tanpa memegang suatu jabatan)? Dan perhatikan apakah dia akan dihadiahi sesuatu atau tidak! Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang di antara kalian (pejabat) memperoleh sesuatu dari (hasil pemberian), kecuali pada Hari Kiamat dia akan datang dengan memikul seekor unta yang sedang melenguh atau seekor lembu atau seekor kambing yang mengembek di atas tengkuknya” (HR. Bukhari dan Muslim). Demikianlah teladan Islam kepada umat Muslim mengenai permasalahan korupsi. Tidak ada sedikit pun dalam ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk memakan harta negara yang tidak haq (benar).
Pembaca yang budiman, marilah kita hindarkan diri kita dari perilaku korupsi. Sebab, Alquran sebagai representasi perintah Allah SWT dan Rasulullah Muhammad SAW, teladan kita yang selalu kita ikuti panutannya, sangat mengutuk keras tindakan korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar